Friday 17 February 2012

Ke Kampung Inggris Untuk Kedua Kalinya

Tiba tiba saja aku ingin mendokumentasikan tentang perjalananku ke Pare untuk yg kedua kalinya. Dimana terdapat banyak sekali perbedaan dengan pertama kali aku kesana pada tahun 2009 dan tahun 2012 ini. Sungguh terlalu, apakah nama Pare yg dikenal sebagai kampung inggris itu telah menghasut banyak orang sehingga tidak ada lagi keistimewaannya. Perjalananku ke Pare dimulai ketika temanku Ary memiliki rencana untuk pergi kesana, awalnya aku tidak yakin karena sebagian orang memiliki minat yang sama namun jarang sekali yang mewujudkannya, tapi Ary berbeda Ary sungguh mewujudkan itu.


Perjalalan dari Bandung menuju Kediri sampai ke Kampung Inggris di butuhkan waktu 15 jam jika kalian kesana menggunakan kereta ekonomi kahuripan dan kalian akan lebih hemat waktu yaitu hanya 11 jam jika kalian menggunakan kereta bisnis Malabar yg berangkat dari Stasiun Kota Bandung. Waktu itu hari ke berangkatanku dari Bandung adalah hari rabu, aku melihat dulu jadwal keberangkatan kereta ekonomi kahuripan dari stasiun kiara condong bandung. Setelah aku tahu jadwal keberangkatan kereta ekononi kahuripan dari stsiun kiqra condongbandung adalah pukul 20.00 dan yang lebih beraninya lagi aku nekat tidak memesan tiket sehari sebelum ataupun jauh sebelum jam keberangkatan.


Aku hanya bermodal yakin perjalanan dari bandung menuju kediri pasti masih ada tiket, aku berangkat dari kos pukul 19.00 dan tepat pukul 20.00 aku sampai di muka gg dan karena takut jadwal keberangkatan berbeda dari yang direncakan aku berlari menuju stasiun. Aku membeli tiket dwngan harfa 38.000, naik sekali dengan 2 tahun lalu harganya 24rb. Aku menympatkan shalat isha di stasiun dan kereta datang 15 menit setelahnya, gerbongku nomer 7 gerbong paling belakang.

Depanku adalah seorang bapak yg baru saja mengunjungi anaknya yang bekerja dan sekarang telah bekerluarga di Bandung, ia bercerita tentang sulitnya mencari pekerjaan saat ini. Aku hanya mengangguk, karena tujuanku bukan mencari pekerjaan melainkan membuat pekerjaan baru. Bapak itu memiliki 3 orang anak, dan beruntung kawan anak bapak itu sekolah semua meski rata-rata adalah tamatan SMA. Bapak itu bercerita tentang anaknya di Bandung yang memiliki kesempatan untuk pindah lokasi kerja di Medan dengan imingan gaji 15juta, wow besar sekali pikirku. Besar sekali untuk tamatan SMA.

Namun anaknya tidak mau, kata bapak tersebut karena anaknya sudah betah tinggal di Bandung. Dan mungkin pikirku tidak terlalu jauh juga dari kota Jogjakarta tempat bapaknya tinggal. Disamping kananku duduk orang jawa yang agak aneh, agak misterius sekaligus pendiam. Tapi aku yakin ada sesuatu yang orang itu pikirikan, terlihat dari gerak-geriknya dan tatapannya memandang. Didepanku duduk 2 orang dari Bandung yang juga pendiam, tapi 2 orang tersebut bukannya pendiam melainkan menutup diri karena sifatnya.

Aku senang berada di kereta api ekonomi, karena banyak pedagang mondar-mandir disini. Gampang sekali mencari makanan dan tak perlu khawatir dengan harganya, beda dengan kereta api bisnis dan eksekutif yang harga makanannya super duper mahal. Kalau lagi lapar aku biasa beli nasi ayam dengan harga 5ribu rupiah, tapi nasi ayam yang aku makan sering kali ayamnya tidak hangat lagi. Bentuknya memang kecil, sesuai dengan harganya. Entah ayam itu ayam bagus yang dipotong dengan cara halal ataupun ayam apa, yang penting aku berdoa dulu sebelum makan. Kadang barang-barang yang dijual dikereta lebih murah dari harga yang biasa kita temukan dipasar, jadi jangan ragu untuk membeli barang di kereta. Dan yang terpenting, harga dipengaruhi oleh kualitas. Jadi kalau membeli barang yang agak murah, jangan berharap untuk mendapat kualitas sempurna.

Kereta terus berjalan hingga malampun datang, aku melihat sekeliling sudah banyak orang yang tidur. Apakah mereka benar-benar tidur, atau berusaha memejamkan mata. Karena aku yakin, bukan hanya aku orang yang kadang sulit tidur sebelum membaca sesuatu sampai bosan ataupun sebelum minum susu coklat hangat. Aku berusaha memejamkan mata dengan tangan bersilang didepan dada karena aku berusaha menjaga barangku, dan hingga akhirnya tak sadar akupun ikut tertidur. Saat aku bangun ditengah malam, aku melihat sekitar orang-orang juga sudah ikut tertidur pulas. Kami semua tertidur pulas dalam kereta, dalam kereta ekonomi yang supersederhana. Terbuat dari kursi plastik, namun kami yakin masing-masing dari kami mempunyai tujuan perjalanan yang mulia. Mencari ilmu, bekerja, ataupun bertemu keluarga.

Perjalanan yang panjang, hingga pagi tiba. Aku terbangun subuh-subuh dan sulit untuk tertidur kembali, aku melihat bapak depanku bersiap untuk turun karena beliau sudah hampir sampai di kota tujuannya, Jogjakarta tepatnya di stasiun lempuyangan. Asal kau tahu kawan, Jogjakarta adalah kota pelajar. Kenapa disebut demikian karena kota ini memiliki begitu banyak sekali universitas dan sekolah-sekolah tinggi, banyak orang kota ataupun orang desa yang merntau ke Jogja untuk melanjutkan pendidikan. Kereta sudah mulai sepi, tinggal mereka yang menuju tujuan akhir Surabaya, Kediri dan Malang yang tersisa. Aku termasuk diantarannya, yang ada dalam benakku hanya seperti apakah kondisi kampung inggris itu sekarang, setelah 1,5 tahun aku tak melihatnya.

TInggal 3 stasiun lagi dan aku sampai ditujuan utamaku Kediri, dan tempat dimana penumpang terakhir berhenti untuk melanjutkan perjalanannya. Bagi mereka yang ingin menuju Surabaya dan Malang, merekapun harus berhenti di Stasiun ini dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Bus. Setelah sampai aku disambut dengan banyaknya tukang becak yang menawarkan mengantar perjalanan untuk menuju tempat pemberhentian bis menuju kampung inggris, setiap ada orang luar kota yang datang terutama tak bias bahasa jawa mereka pasti menyebutkan kata “Kampung Inggris” atau “BEC” tempat kursus bahasa inggris yang pertama berdiri di Pare itu sekaligus menjadi pelopor tempat kursus yang lain.

Aku sudah tau siasat mereka, BUSUK. Aku tak mau terjebak untuk yang ketiga kalinya, aku sudah 2 kali terjebak rayuan BUSUK para tukang becak itu. Yang mengantarkan kita para pendatang ke tempat pemberhentian bus dan meminta bayaran 15 ribu, mereka bilang bayaran itu sudah biasa. Padahal tempat yang dituju bias hanya dengan berjalan kaki sekitar 300 meter, seperti yang kulakukan sekarang aku berjalan kaki menuju tempat pemberhentian bus. Setelah keluar dari stasiun, aku agak bingun dengan tempat ini jalannya ada 2 yang manakah jalan yang benar. Sambil tukang becak yang lain meliatiku sambil mereka menawarkan jasannya.